MABBARAZANJI
DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR
Indonesia adalah negara kepulauan yang wilayahnya terbentang dari Sabang
sampai Merauke dengan beragam suku dan ras sehingga menghasilkan kebudayaan
yang beraneka ragam pula. Kebudayaan dan tradisi yang beraneka ragam itu masih
bisa kita saksikan hingga sekarang ini. Berbicara tentang tradisi yang ada di
Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh budaya leluhurnya. Sebelum Islam datang
ke Nusantara, masyarakat Indonesia sudah mengenal agama Hindu dan Budha, bahkan
sebelum kedua agama itu datang masyarakat sudah mengenal kepercayaan Animisme
dan Dinamisme. Tapi setelah Islam datang, terjadi akulturasi antara tradisi
masyarakat setempat dengan Islam.
Seiring perkembangan zaman, dalam masyarakat yang ingin serba praktis
dan singkat, banyak tradisi masyarakat yang tidak bertahan sampai sekarang.
Meskipun demikian, masih banyak juga tradisi yang masih bertahan sampai sekarang,
salah satunya adalah tradisi pembacaan kitab Barzanji. Pembacaan kitab ini tidak
hanya dilakukan di wilayah Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam, tapi tradisi ini juga dilakukan oleh kebanyakan umat Islam yang tersebar
di seluruh penjuru dunia untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw.
Tradisi pembacaan kitab Barzanji
sebenarnya bukanlah hal yang wajib dilakukan oleh umat Islam atau pun sebuah
ritual yang harus dilakukan di setiap hari kelahiran Nabi. Barzanji hanya
dilakukan untuk mengambil hikmah dan meningkatkan kecintaan umat terhadap
nabinya, menjadikannya suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi
Barzanji di Indonesia sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh
masyarakatnya. Pembacaan kitab Barzanji pun tidak hanya dilakukan pada saat
perayaan hari kelahiran nabi saja, tetapi juga dilakukan ketika merayakan
kelahiran anak, khitanan, perkawinan, dan sebagainya. Tujuannya memohon berkah
kepada Allah agar apa yang dihajatkan terkabul.
Walaupun Barzanji sudah menjadi tradisi umum yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia, bukan berarti di setiap daerah memahami tradisi Barzanji
sama dengan daerah lainnya. Seperti halnya masyarakat Bugis, mereka memahami
Barzanji sebagai sesuatu yang sakral dan “wajib” dilakukan ketika melaksanakan
suatu upacara adat. Tanpa Barzanji suatu upacara adat dikatakan belum sempurna.
Bagi mereka, Barzanji merupakan penyempurna dari upacara adat yang mereka
lakukan. Sebagian besar masyarakat juga percaya, bahwa orang yang melakukan
hajatan tanpa melaksanakan Barzanji akan mendapat musibah. Dari penjelasan tersebut
peneliti berkesimpulan, bahwa kesakralan dari Barzanji bukan terletak pada buku
Barzanjinya, siapa yang membacanya atau siapa yang mengadakannya, tapi letak kesakralannya
pada tradisi atau acara Barzanji itu sendiri.
Sebelum datangnya Islam di Sulawesi
Selatan, masyarakat Bugis-Makassar membaca Kitab I La Galigo pada upacara adat
yang mereka laksanakan. Dalam bukunya berjudul Manusia Bugis, Cristian Pelras
menceritakan bahwa Kitab La Galigo adalah kitab yang disakralkan oleh masyarakat
Bugis-Makassar. Sebelum kitab ini dibaca harus diadakan ritual-ritual tertentu.
Setelah Islam datang, selain kitab Barzanji, naskah I La Galigo juga
masih dibaca oleh masyarakat Bugis. Mulai akhir abad ke-XVIII atau awal abad
ke-XIX pembacaan Barzanji telah menggantikan pembacaan naskah-naskah I La
Galigo dalam upacara syukuran.Kedatangan Islam di tanah Bugis tidak mengubah
secara keseluruhan tradisi atau adat istiadat mereka, di sini terjadi
percampuran antara kepercayaan masyarakat pribumi sebelum datangnya Islam dan
setelah diterimanya ajaran Islam. Hal tersebut bisa kita saksikan pada
upacaraMenre Aji.Pada upacara ini, terlihat jelas adanya perpaduan antara
budaya Islam dan pra-Islam, yang bisa kita saksikan pada ritual yang dilakukan
sebelum pembacaan Barzanji atau pun pada acara Barzanji itu sendiri. Pembacaan
Barzanji merupakan bentuk budaya Islam, sedangkan jenis makanan yang disajikan
sebelum dan saat pembacaan Barzanji pada upacara Menre Aji merupakan bentuk
kebudayaan pra-Islam.
Jenis makanan tersebut juga tidak begitu beda dengan sajian makanan
perayaan masyarakat to-Lotang yang bukan Islam.Tradisi Barzanji masyarakat
Bugis. memang unik dibanding tradisi Barzanji yang dilakukan oleh masyarakat di
daerah lain yang ada di Indonesia. Keunikannya terletak pada Barzanji yang
dianggap sakral oleh masyarakat setempat, yang harus dilaksanakan di setiap
upacara adat mereka, serta adanya akulturasi Islam dan pra-Islam pada tradisi
tersebut. Hal inilah yang menarik untuk diteliti dan diadakan penelusuran lebih
jauh mengenai tradisi
Barzanji.
Benang merah antara agama dan budaya itu
tentu sudah lama menorehkan sejumlah masalah, baik dari segi subtansinya,
maupun tanggapan yang berkembang di tengah masyarakat. Diantara sekian banyak
perdebatan itu antara lain menyangkut pembacaan barzanji (mabbarazanji),
perayaan maulid (ammaudhu’) dengan segala baku’ dan kanre maudhu’-nya, asyura
(ajjepe syura), upacara-upacara adat dan tradisi yang berkaitan dengan perayaan
siklus hidup seperti : alahere, aqeqah, appatamma, khitanan adat (assunna),
appabunting, dan ammateang. Begitu pula upacara adat lainnya seperti menre
bola, mappalili, mappadendang, mattemmu taung), ziarah kubur (assiara ri
kobbang), apparuru lopi atau ammocci biseang, appanaung, appanaik, dan lain
sebagainya. Setiap upacara adat dan tradisi tersebut selalu disertai dengan
pembacaan_kitab_barzanji.
Hal ini terjadi pula pada Perayaan Hari - hari besar islam dengan nuansa dan warna sinkretisme, seperti perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dengan rentetan acaranya sebagai berikut : appakarammula, ammone baku, ammode’ baku, angngantara kanre maudu’, pannarimang kanre maudu’, a’rate (assikkiri’), pammacang salawa, pattoanang, pabbageang kanre maudu. Perayaan hari-hari besar islam yang juga menghadirkan pembacaan “zikkiri – barazanji”, selain Maulid Nabi adalah : Isra Mi’raj, Sepuluh Muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, masih banyak masyarakat menyelenggarakan barzanji atau mengundang “pabaca doang” (Pembaca Doa, biasanya imam kampung atau anrong guru) ke rumahnya untuk membacakan segala jenis dan rupa makanan, yang diiringi bau asap kemenyan. Dalam pandangan agama (Islam), hal tersebut bisa dianggap musyrik (menyekutukan Allah) atau “bid’ah” (tidak ada dalam syariat_Islam/tidak_ada_tuntunannya_sebagaimana_yang_pernah_dicontohkan_dalam_kehidupan_Rasulullah_SAW).
Seperti diketahui, Agama Islam masuk di Sulawesi Selatan, dengan cara yang sangat santun terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata dari sikap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat kita lihat dalam tradisi – tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini. Seperti mengganti pembacaan kitab La Galigo dengan tradisi pembacaan barzanji, sebuah kitab yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, dalam setiap hajatan dan acara, doa – doa selamatan, bahkan ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini_merupakan_bukti_terjadinya_asimilasi_damai_dengan_budaya_Bugis_Makassar.
Dengan semakin berkurangnya orang yang bisa membaca kitab barzanji, apakah ini merupakan awal kehancuran atau hilangnya tradisi masyarakat Bugis Makassar terkait perayaan atau penyelenggaraan upacara siklus hidup (alahere, aqeqah, appatamma, khitanan adat (assunna), appabunting, dan ammateang), ataukah akan muncul tradisi baru, tradisi lama tanpa pembacaan kitab barzanji, ataukah dengan gejala ini, merupakan suatu awal yang bagus bagi masyarakat islam bugis makassar untuk meninggalkan dan menanggalkan tradisi budayanya yang ‘kurang islami’, dan apakah benar membaca kitab barzanji merupakan suatu hal yang bid’ah dalam pandangan ajaran Islam.
Barazanji yang biasa
dikenal dalam masyarakat Bugis sebagai nilai lain yang mengadung estetika
tinggi dan kesakralan mempunyai macam-macam pembagian menurut apa yang ada
dalam keseharian mereka seperti yang didapatkan sebagai berikut :
Q Barazanji
Bugis ‘Ada’ Pa’bukkana’.
Q Barazanji
Bugis ‘Ri Tampu’na’ Nabitta’.
Q Barazanji
Bugis ‘Ajjajingenna’.
Q Barazanji
Bugis ‘Mappatakajenne’.
Q Barazanji
Bugis ‘Ripasusunna’.
Q Barazanji
Bugis ‘Ritungkana’.
Q Barazanji
Bugis ‘Dangkanna’.
Q Barazanji
Bugis ‘Mancari Suro’.
Q Barazanji
Bugis ‘Nappasingenna Alena’.
Q Barazanji
Bugis ‘Akkesingenna’
Q Barazanji
Bugis ‘Sifa’na Nabit’ ta’.
Q Barazanji
Bugis ‘Pa’donganna’.
Q Barazanji
Bugis ‘Ri Lanti’na’.
Macam-macam dari Barazanji diatas apabila
ditelaah dengan baik maka semua makna dari barazanji diatas menceritakan
mengenai segala macam dari hal-hal keseharian kita. Maka seperti dikatakan tadi
diatas pada pembuka pembahasan bahwa barazanji merupakan wujud penceritaan
terhadap berbagai perilaku keseharian baginda Rasulullah Muhammad SAW dan
sahabatnya. Yang mana tersirat makna lain mengenai nilai-nilai yang seirama
atas apa yang juga dirasakan da nada dalam realitas social keseharian kita,
yang mana sebenarnya menunjukkan bahwa seperti inilah jalan yang sebenarnya
dilalui agar tidak sesat jalan yang seirama dengan Rasulullah dan sahabatnya.
Maka dari ini, budaya barazanji yang ada
pada masyarakat bugis sekiranya sulit akan pudar dalam kebudayaan dan keseharian
masyarakat khususnya bugis Makassar. Karena ini sudah dianggap kewajiban lagi
bukan sunah yang bisa saja tidak dilakukan. Maka dari itu sebagai Calon
Antropolog maka harusnya untuk tetap memelihara dan tetap menjaga ke
eksistensian budaya seperti ini maka harus ada penekanan dalam hal penyebaran
kembali atau pengajaran kembali sebenarnya ada yang dikatakan seperti ini, ada
budaya kita yang seperti ini, paling tidak dengan mengetahui bahwa ada yang
seperti ini, budaya barazanji ini akan tetap stay dalam tradisi adat istiadat
yang menjadi nilai plus dan harta berharga buat bangsa dan Negara yang wujudnya
mempunyai banyak budaya semacam ini.
0 komentar:
Posting Komentar